Perspektif Baru Dalam Memproyeksikan Pembangunan Indonesia
“Why do we fall, sir? So that we can learn how to pick ourselves up”
(Film Batman Begins)
Sekilas tentang Indonesia
Sebelum tahun 1908 perjuangan untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda masih bersifat kedaerahan – kita dapat melihat perjuangan Cut Nyak Dien di Aceh, Sisingamangaraja di Tanah Batak, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Sultan Agung di Mataram, Sultan Hasanuddin di Makassar dan banyak lagi perlawanan didaerah lain – tapi setelah tahun 1908 perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajahan mengalami perubahan secara mendasar. Jika dulunya bersifat kedaerahan maka setelah tahun 1908 sudah bersifat nasional.
Sejarah bangsa Indonesia memiliki banyak suka dan duka dalam perjalanannya untuk mencapai keadaan seperti sekarang ini, dimulai dari penjajahan Belanda selama lebih kurang 350 tahun lalu penjajahan Jepang selama 3,5 tahun yang secara struktur maupun kultur telah membentuk pola feodalisme dalam kehidupan bermasyarakatnya. Setitik harapan mulai timbul ketika dibentuknya Budi Utomo yang merupakan awal mula kebangkitan Nasional (1908), oleh Suwardi Suryaningrat dkk, yang bergerak dibidang pendidikan, seni, dan budaya. Lalu diikuti dengan pendirian organisasi politik maupun non politik demi mencapai kemerdekaan Bangsa ini, seperti Indische Partij, Sarekat Islam (SI), Partai Nasional Indonesia, dan lainnya.
Akhirnya dengan terdesaknya pasukan Jepang dalam perang Asia Timur Raya, Jepang menjanjikan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dengan membentuk BPUPKI lalu kemudian menjadi PPKI yang merumuskan UUD ’45 sebagai dasar Negara,dan Soekarno sebagai Presiden Indonesia. Dengan kekalahan Jepang pada perang tersebut maka terjadilah Vacuum of Power di Indonesia sehingga menurut kaum muda inilah saat yang tepat untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia dan mendesak kaum tua yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, dan lainnya, untuk mendeklarasikan kemerdekaan tersebut. Hasilnya pada tanggal 17 agustus 1945 Soekarno membacakan teks proklamasi yang memulai babak baru perjuangan bangsa ini.
Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan sudah berakhir dan digantikan dengan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan pencapaian amanah cita-cita bangsa yang tertera dalam UUD ’45. Perjuangan untuk mempertahankan Negara ini tidak berlangsung dengan mudah, karena Belanda tidak begitu saja rela melepaskan daerah jajahannya yang telah lama menjadi sumber pendapatan pemerintah Belanda. Ini ditandai dengan agresi militer Belanda I dan II, lalu diikuti dengan beberapa kali perjanjian damai diantaranya ialah perjanjian Linggar Jati, Roem Royen, dan Renville. Gonjang ganjing ini membuat Negara kita mengalami beberapa kali perubahan bentuk, perubahan Undang-Undang Dasar, dan pergantian perdana menteri. Tapi kedudakan Soekarno sebagai Presiden tidak tergoyahkan. Ini diperkuat dengan keluarnya Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan Badan Konstituante karena tidak mampu menghasilkan UUD pengganti UUDS 1950 dan mengembalikan konsititusi ke UUD’45, membubarkan parlemen lalu mengukuhkan dirinya sebagai presiden yang tak terbantahkan dengan dikukuhkannya Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Hal ini jelas telah mengkhianati cita-cita Indonesia sebagai Negara demokrasi yang berbentuk republik.
Dalam perjalanan pembangunannya pun negara ini tidak terlepas dari pergolakan diantara elite politik yang saling berebut pengaruh rakyat, yang berujung pada pemberontakan G 30 S PKI yang sampai sekarang belum jelas kebenaran sejarahnya. Yang pasti keadaan ini ditambah dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan telah membuat kekacauan di Negara ini. Pada saat itu kita mengetahui bahwa mahasiswa turun kejalan didampingi TNI AD dengan membawa tiga tuntutan yang dikenal sebagai TRITURA yang mengakibatkan turunnya Soekarno karena pidato pertanggungjawabannya tidak diterima oleh MPR, dan mengangkat Soeharto sebagai presiden Indonesia. Dalam periode awal ini anggota DPR banyak diambil dari kalangan aktivis mahasiswa angkatan ’65.
Ternyata kejadian tahun ’65 ini tidak banyak membawa perubahan yang mendasar kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan. Hal ini terbukti dari keadaan masyarakat yang tidak banyak berubah walaupun pemerintah telah mencanangkan PELITA (Pembangunan Lima Tahun), timbullah perlawanan yang merupakan akibat dari ketidakpuasan mahasiswa terhadap realita bangsa dengan melihat kenyataan bahwa kesenjangan sosial menjadi semakin kentara (MALARI, NKK/BKK, Penolakan Soeharto untuk menjadi Presiden kembali ). Kesemuanya ini mencapai puncaknya pada saat krisis ekonomi tahun 1998, yang mengakibatkan digulirkannya reformasi dan turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Pada saat ini muncullah tokoh-tokoh reformasi seperti Megawati, GusDur, Amien Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan bersama beberapa elemen mahasiswa melakukan dialog nasional dan membuahkan Deklarasi Ciganjur, 13 November 1998. Setelah ini kita semua tahu apa yang terjadi pada bangsa dan Negara kita, yang ada hanyalah saling menjatuhkan antar sesame elit jika tidak tercapai kesepakatan, dan akan kompromi jika ada kesepakatan. Keadaan ini terus bergulir sampai sekarang…
Ancaman Disintegrasi Fisik
Model pemerintahan tangan besi dan doktrin pancasila termodifikasi yang digunakan oleh Soeharto, yang berpusat di Jakarta dengan sendirinya telah memunculkan rasa ketidakpuasan dan tentangan didaerah. Ketidakproporsionalan eksploitasi kekayaan sumber daya alam, ketidakseimbangan sistem keuangan antara pusat dengan daerah, dan ketimpangan pembangunan antara pusat dengan daerah telah menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat daerah.
Keadaan ini memunculkan pemikiran bahwa satu-satunya jalan untuk memajukan daerahnya adalah dengan cara mengatur daerahnya sendiri, terpisah dari kekuasaan Jakarta, dan memerdekakan diri dari Indonesia. Contoh-contoh dari disintegrasi fisik yang diakibatkan oleh factor internal tersebut dapat kita lihat dari Gerakan Aceh Merdeka, Organisasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan lainnya. Disini dapat dilihat bahwa rasa kekeluargaan yang diharapkan akan selalu ada dikehidupan rakyat Indonesia oleh Bapak Bangsa kita telah terkikis.
Indonesiaku Indonesiamu : Sebuah disintegrasi
Selain ancaman disintegrasi fisik yang mengancam bangsa kita, dimana parameternya dapat diukur yaitu kemerdekaan, ternyata ada juga disintegrasi lain yang mengancam keberlangsungan Bangsa Indonesia yaitu disintegrasi laten. Disintegrasi laten dapat diartikan sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan secara tidak sadar. Bentuk disintegrasi ini bersifat khusus karena, pertama, tidak ditemui pada era founding father kita, kedua diduga berpotensi memiliki kekuatan disintegrasi yang lebih kuat daripada disintegrasi fisik, dan ketiga, terjadi berulang-ulang (Intensitas tinggi).
Kita sering melihat di televisi orang dibakar hidup-hidup atau dipukuli ramai-ramai oleh masyarakat setempat ketika tertangkap basah melakukan tindakan kriminal. Mereka menolak menyerahkan tersangka kepada lembaga hukum untuk diproses, karena ketidakpuasan terhadap lembaga hukum tersebut dalam menyelesaikan kasus tersebut. Ini merupakan bukti ketidakpercayaan kepada lembaga negara dan hukum.
Bukti ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan contohnya, ketika secara sadar atau dari dorongan eksternal kita memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Secara khusus jenis ketidakpercayaan ini memiliki dampak turunan tersendiri misalnya, ketidapercayaan kita pada kompetensi dokter dan pelayanan kesehatan di Indonesia, apresiasi berlebihan tanpa disertai tes uji kelayakan kepada lulusan kita yang kebetulan memperoleh ijazah luar negeri.
Bukti tidak dimilikinya rasa kekeluargaan ini dapat kita lihat pada pengrusakan fasilitas publik (pemotongan rel kereta api secara sengaja, perusakan telepon umum, dan lainnya). Dibagian lain hal ini terlihat dari kecurigaan berlebihan dan perasaan tidak nyaman berada di lingkungan yang heterogen, yang tidak jarang pada pengeksklusifan ras, agama atau suku tertentu. Sangat mungkin hal ini akan menimbulkan gesekan yang berakumulasi pada konflik sosial.
Bukti ketidakpercayaan pada sistem ekonomi dapat kita lihat ketika seseorang merasa lebih aman berinvestasi diluar negeri atau lebih mempercayakan uangnya disimpan dalam bentuk uang asing (misalnya US dollar).
Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa semangat keindonesiaan kita begitu rapuh. Kita sering kali memandang Indonesia secara individu. Indonesiaku dan Indonesiamu belum tentu sama.
Mencari Jarum Dalam Sekam…
“Trust, but verify.” – Ronald Reagan
Sampai detik ini kita semua tidak tahu identitas bangsa kita sendiri, jika anda tidak sepakat minimal inilah realitas yang terlihat didepan mataku hingga saat ini. Kesalahan pertama yang mungkin dibuat oleh ialah ketika bapak bangsa kita tidak memasukkan satupun budayawan dalam menentukan proses pendirian negara dan bangsa kita (dalam sidang PPKI tidak ada satupun budayawan yang diikutsertakan, yang ada hanya politikus ). Kita tahu jika harus mencontoh maka kita harus mencontoh yang lebih baik dari kita. Maka tidak salah jika saya mengambil Amerika sebagai contoh dalam analisis ini untuk mengerti permasalahan kita. Dalam proses pendirian Amerika , para bapak bangsa Amerika menyadari betul mengapa mereka ingin memisahkan diri dari Inggris Raya dan membentuk Negara Amerika. Mereka ingin melepaskan diri dari belenggu gereja yang terlalu menekan, mereka ingin melepaskan diri dari tekanan kerajaan inggris yang menekan kebebasan mereka. Mereka tahu bahwa jika berada dibawah kekuasaan Inggris mereka tidak akan bisa mencapai cita-cita mereka yaitu kebebasan individual. Atas dasar inilah mereka membuat dasar Negara Amerika, infrastruktur maupun suprastruktur dan konstitusi yang membuat ini dasar ini tetap ada dalam masyarakatnya.
Mungkin keadaaan Amerika dan Indonesia tidak bisa disamakan karena sebagian dari mereka, jika tidak bisa dikatakan keseluruhan, sudah merupkan orang-orang yang terdidik; tidak seperti Indonesia yang pada saat pergerakan kemerdekaan hanya segelintir saja memiliki pendidikan.
Jika pada saat perjuangan kemerdekaan para bapak bangsa kita menyebarkan doktrin “sama-sama dijajah oleh Belanda” untuk menyatukan Bangsa ini maka doktrin ini akan menjadi tidak relevan lagi ketika kita sudah merdeka. Seharusnya ketika kita sudah merdeka kita harus mencari identitas bangsa kita sehingga kita memang akan tetap bersatu sebagai bangsa berdasarkan pengetahuan yang rasional, bukan lagi berdasarkan doktrin yang sudah tidak relevan lagi dizaman sekarang. Ini bisa dicari dengan terlebih dahulu melakukan pencerdasan kepada bangsa ini melalui pendidikan.
Jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 juta ini
lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya,
sebelum kita dapat mencapai political independence,
saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
(pidato Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945)
Mungkin pencerdasan ini tidak bisa dicapai pada saat jaman Soekarno karena banyaknya intrik-intrik politik yang terjadi saat kekuasaan dipegang oleh Soekarno, bahkan lebih kacaunya lagi pada saat rezim Soekarno yang terjadi adalah bagaimana cara mempertahankan kekuasaan dari musuh-musuh politiknya, bagaimana caranya memperoleh simpati rakyat yang pada akhirnya akan digunakan untuk merebut kekuasaan, tidak ada yang membahas permasalahan yang terjadi dalam masyarakat kita. Belum lagi dampak perang dingin terhadap politik dalam Negara kita, yang memecah kesatuan kita.
Harapan muncul ketika pada saat rezim Soeharto situasi perpolitikan dalam negeri sudah aman. Tapi kenyataannya walaupun Soeharto konsisten dalam menjalankan Pancasila dan UUD ’45, dia tidak melakukan pencerdasan terhadap bangsa ini, melainkan melakukaan doktrinasi baru melalui lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti P4. Melakukan pemberangusan kepada musuh-musuh politiknya secara langsung maupun tidak langsung. oeharto Membuat lingkaran-lingkaran kekuasaan seperti MLM, tapi disini yang dibentuk ialah multilevel otoritarianisme. Adanya praktek KKN yang dilakukan dalam setiap level pemerintahan. Semuanya itu juga tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ditambah lagi dengan dibukanya pasar Indonesia terhadap produk-produk luar negeri dan pembangunan fisik yang besar-besaran (melalui REPELITA), walaupun hanya ditempat tertentu, yang dibiayai oleh utang. Ketika kita masih kebingungan dalam mencari identitas bangsa, kita disodori oleh pembangunan fisik yang menyilaukan mata kita, produk-produk luar negeri yang berlimpah, ditambah lagi dengan kultur feodalisme yang masih kental dialam tak sadar kita membuat kita merasa bahwa segala yang dihasilkan barat terhadap kita pasti akan lebih baik. Ini membuat kita merasa bahwa budaya kita inferior terhadap budaya luar, segala sesuatu yang datang dari luar negeri dianggap lebih hebat dan lebih baik daripada yang ada dalam negeri. Dan ini menjadikan kita sebagai bangsa yang konsumtif, tidak berani berkreasi sendiri. Ini semua disebabkan oleh mental – mental feodalistik belum berhasil dihilangkan dari alam bawah sadar kita. Pendidikan yang dilakukan oleh soeharto adalah bentuk pendidikan yang menciptakan doktrin baru, bukan pencerdasan kepada Bangsa dan Negara Indonesia.
Masalah berikutnya ialah adanya sebuah proses simplifikasi dari setiap permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Kita semua tahu bahwa dalam gerakan ’65 yang ditumbangkan hanya Soekarno, tapi permasalahan yang dihadapi oleh rakyat kita tetap saja hanya diselesaikan didalam ruang elit politik saja. Ternyata permasalahan bangsa tahun ’65 tidak bisa diselesaikan oleh mahasiswa yang duduk dikursi DPR pada saat itu. Keadaan ini berulang kembali pada tahun 1998, dimana ketika krisis ekonomi dan kerusuhan yang terjadi kita hanya meminta Soeharto turun dan setelah itu permasalahan Bangsa hanya dibicarakan oleh segelintir elit politik (Deklarasi Ciganjur). Kita hanya melihat puncak gunung es diatas laut yang harus dipotong untuk melanjutkan perjalanan Bahtera bangsa ini, tetapi tidak melihat bahwa gunung es tersebut masih ada dibawah laut dan mengakar jauh ke bumi.
Dari beberapa kali pergantian pemimpin kita tidak pernah berusaha untuk merubah struktur maupun kultur yang ada. Dari begitu panjangnya sejarah bangsa ini, setiap kali ada pergolakan, yang diganti hanya pemimpinnya saja. Tidak ada yang berusaha untuk mengganti atau, jika terkesan terlalu revolusioner, memperbaiki struktur maupun kultur yang ada dalam kehidupan bermasyarakat kita. Jika kita seperti ini terus bukan tidak mungkin Negara ini akan bubar seperti yang terjadi pada Uni Soviet yang masyarakatnya dididik berdasarkan doktrin proletariat yang salah ( dalam tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh sebuah Negara komunis –Menurut Marx- ), dan Yugoslavia yang sekarang jadi tinggal kenangan karena adanya diskriminasi etnis.
Sungguh menyedihkan ketika kita belum mengetahui identitas kita sebagai bangsa Indonesia, yang dapat digali dari kebudayaan kita, kita sudah mengkonsumsi produk budaya luar yang pada akhirnya,secara sadar atau tidak sadar, membuat kita mengikuti budaya luar. Ini dikarenakan setiap produk budaya mengandung meme yang merupakan satuan unit informasi terkecil. Meme terdiri dari ide atau kebiasaan yang disebarkan dari seseorang atau orang lain dengan belajar atau dengan mengimitasi. Meme inilah yang bisa menjelaskan – dengan menggunakan model teori evolusi – mengapa budaya, agama, ide, tata bangunan dan yang lainnya bisa menyebar keseluruh penjuru (Richard Dawkins: The Selfish Gene, 1976).
Jika kita menilik lebih dalam seharusnya kita tidak dengan mudah meninggalkan baik budaya maupun produk budaya kita, karena budaya kita merupakan hasil dari evolusi yang berlangsung selama ratusan tahun. Budaya kita memang berakar dari budaya Hindu, tetapi tidak sama dengan budaya Hindu yang berasal dari India. Karena budaya Hindu yang berkembang di Indonesia telah ber-evolusi dengan keadaan lingkungan dan kondisi sosial masyarakat tempat budaya itu berkembang. Dan ini bukanlah sesuatu yang tidak memakan waktu dan tenaga. Budaya kita adalah hasil ciptaan nenek moyang kita.
Mahzab Frankfurt yang menganut aliran Neo-Marxis dalam penelitiannya mengadopsi psikologi masyarakat dalam masyarakat sosial, mereka menemukan peran media yang sangat signifikan dalam proses penyebaran budaya massa, melalui produk budaya yang mengakomodasi hasrat manusia secara psikologis. Mereka menemukan masalah dalam praktek perekonomian yang membuat penyeragaman selara dan produksi massal dari produk tersebut. Penelitian ini juga bisa menjelaskan mengapa budaya luar tersebut gampang masuk ke Indonesia. Poin penting yang harus diperhatikan ialah pentingnya kita memahami budaya yang sedang kita praktekkan supaya selalu terukur dan berkelanjutan.
Tantangan ke Depan
Mengapa setelah puluhan tahun merdeka kita justru semakin menjauh? Kemana perekat yang selama ini telah menyatukan Bangsa kita yang heterogen ini pada puncak komitmennya yaitu merdeka ? Fenomena ini tentu saja tidak terlepas dari cara pandang kita pada perekat itu sendiri.
Cara pandang kita ini tentu tidak terlepas dari doktrinasi Soeharto yang telah berlangsung selama 32 tahun. Hal ini masuk akal jika kita kaitkan dengan kesadaran Soeharto bahwa suatu Negara membutuhkan dasar persatuan yang kuat untuk berdiri. Doktrinasi pun dilakukan untuk mentransfer hasil terjemahan ulang sejarah. Contohnya sumpah pemuda, proklamasi, proses terbentuknya UUD ’45, dan sejarah berdirinya bangsa ini. Kesemuanya itu secara eksplisit dipandang Soeharto sebagai perekat absolute, padahal Soekarno pernah berkata “Saudara-saudara, apakah yang dinamakan merdeka? Tahun 1933, saya telah menulis risalah yang bernama ‘Mencapai Indonesia merdeka’. Maka didalam risalah itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, polietieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain tak bukan ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat“. Akibatnya kita memikirkan bahwa nilai perjuangan bangsa ini telah final. Kita bersatu karena dulu kita sama-sama jajahan Belanda, sekarang kita bersatu karena pendahulu kita sudah bersatu sebelumnya, kita hanya meneruskan tradisi. Kita hanya mengenal persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai romantisme masa lalu, tetapi tidak memiliki lagi alasan untuk bersatu. Kita jadi memikirkan diri sendiri dan tidak perduli lagi dengan keadaan sekitar
Pola pikir ini pada akhirnya menggiring kita pada pola pikir individualisme barat. Di mana telah disadari oleh para Founding Father sebagai peluntur esensi ke-Indonesia-an kita. Dengan keadaan Indonesia yang secara alami telah memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi maka perekat kebangsaan menjadi sangat penting. Dengan demikian tantangan kita adalah mencari cara pandang keindonesian yang baru. Untuk mencari cara pandang baru ini sains adalah salah satunya. Dalam menangkap esensi kemerdekaan yang baru kita membutuhkan sebuah metodologi yang dapat mendeskripsikan masalah dan menemukan pengetahuan dari sistem sosial masyarakat Indonesia.
Kebudayaan Sebagai Pemersatu Indonesia
Apa yang tergambar dikepala anak-anak ketika melihat peta Indonesia disertai dengan budaya tiap-tiap daerahnya ? Jelas yang tergambar dikepala mereka adalah perbedaan, jadi secara tidak langsung ketika guru disekolah member doktrin tentang persatuan dan kesatuan Indonesia, mereka sudah melihat bahwa perbedaan setiap daerah lebih realistis daripada persatuan dan kesatuan yang diberikan guru, dimana persatuan dan kesatuan Indonesia merupakan sesuatu yang abstrak – Keadaan ini tidak terlepas dari pola pikir mekanistik yang dibangun oleh Rene Descartes yang sekarang menjadi pola pikir formal di institusi ilmiah – Jadi tidak aneh jika banyak siswa yang malas ikut upacara, karena pada saat upacara kita hanya diberitahu tentang heroisme pahlawan bangsa, kita hanya bisa bernostalgia tanpa bisa mendapat sesuatu yang bisa dipegang ketika kita mengikuti upacara. Kita tidak pernah diberi “mimpi Indonesia” seperti Bangsa Amerika diberi “American Dream”
Sudah saatnya bagi kita untuk menghilangkan proses membentuk rasa nasionalisme dengan cara doktrinasi, kita harus membentuk rasa nasionalisme pada setiap individu dengan paradigma sains, supaya mereka dapat melihat bahwa persatuan dan kesatuan bukan sesuatu yang abstrak. Hasil penelitian dari IACI (Indonesia Archipelago Culture Inisiatif) menunjukkan bahwa terdapat pola hubungan antara budaya yang satu dengan yang lainnya yang ada di Indonesia.
Sumber : Buku Solusi Untuk Indonesia
Dengan ini maka kita bisa optimis bahwa Indonesia kedepannya bukan lagi Sumatera Utara adalah milik orang batak, Kalimantan adalah milik orang Dayak dan lainnya, tetapi Sumatera Utara adalah milik masyarakat Indonesia, tidak akan ada lagi kebencian antar suku (Seperti tragedy Sampit dan banyak di daerah lain), tidak aka nada lagi konflik agama seperti di Ambon. Nantinya Orang Madura tidak akan takut lagi untuk berdomisili di Kalimantan. Ini semua dimungkinkan karena kita dan adik-adik kita sudah bisa melihat landasan logis mengapa kita harus bersatu. Dan kita juga sudah tahu harga yang harus dibayar jika melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), contohnya adalah Timor Leste yang sampai sekarang masih harus bergelut untuk menyelesaikan perselisihan internalnya dan juga harus “legowo” menghadapi campur tangan asing dalam mengurus rumah tangga negaranya.
Pemanfaatan Budaya Sebagai Modal Ekonomi
Mungkinkah kita menyandarkan salah satu tulang punggung perekonomian kita pada kebudayaan ?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas ada baiknya jika kita melihat evolusi ekonomi yang ada di dunia. Aktivitas ekonomi terasa sangat diperlukan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan terjadinya revolusi Industri di Inggris maka semakin dimungkinkan untuk tumbuhnya industri manufaktur yang memproduksi barang secara massal. Hal ini membawa dunia ke zaman industri berbasis manufaktur. Adapun zaman industri manufaktur adalah zaman dimana modal memegang peranan penting dalam pengembangan industri sebuah negara. Ini mengakibatkan negara-negara yang memiliki banyak modal yang bisa menguasai perekonomian, sementara Negara-negara dunia ketiga hanya bisa menjadi konsumen, dan penyedia barang mentah karena keterbatasan modal. Keterbatasan modal diakibatkan oleh banyaknya kekayaan Negara-negara dunia ketiga yang telah dikuras oleh negara-negara Eropa selama zaman penjajahan yang bergerak dibawah bendera Gold, Glory, dan Gospel. Keadaan inilah yang mengakibatkan mengapa begitu banyak modal yang terakumulasi di negara-negara Eropa
Dengan ditemukannya Integrated Circuit (IC) pada tahun 1958 maka semakin mudahlah dalam penciptaan peralatan elektronik, karena transistor yang merupakan perangkat vital dalam peralatan elektronik. Dari tahun ke tahun jumlah transistor yang diintegrasikan kedalam IC bertambah secara eksponensial, ini berakibat pada semakin cepatnya kemampuan peralatan elektronika dalam memproses data dan juga makin banyak jumlah data yang dapat diproses. Penemuan ini membawa ekonomi dunia ke zaman baru yaitu zaman ekonomi berbasis Industri teknologi tinggi (Hi-Tech Industry). Pada zaman ini yang memegang peranan penting ialah riset akan teknologi. Pada zaman inipun Negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, sulit bersaing dengan Negara-negara maju karena kesulitan dana dalam melakukan riset.
Perubahan Perilaku Sistem Ekonomi (Dari Situngkir, H (2008)
Evolutionary Economics celebrates Innovation and Creativity based Economy, Working Paper, Bandung Fe Institute
Karakteristik Dari Masing-Masing Sistem Ekonomi (Dari Situngkir, H (2008)
Evolutionary Economics celebrates Innovation and Creativity based Economy, Working Paper, Bandung Fe Institute
Keadaan mulai berubah dengan hadirnya internet yang membuat arus informasi mengalir dengan bebas secara digital dari satu tempat ke tempat lain tanpa membutuhkan waktu yang lama. Pada zaman ini perekonomian dikuasai oleh Negara-negara yang memiliki industri-industri kreatif dan inovatif.
Pada zaman ini Negara yang memiliki informasilah yang ekonominya berkembang dengan cepat. Mungkin karena melihat keadaan inilah sehingga banyak sekali orang yang mematenkan ekspresi budaya kita (untuk contohnya dapat dilihat pada kolom lampiran). Dengan melihat contoh tadi kita bisa melihat bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi salah satu pemain utama dalam zaman ekonomi yang baru ini Untuk lebih jelasnya Silahkan lihat table dihalaman berikut.
Besarnya lingkaran merupakan fraksi ekspor Seni dan Kerajinan tangan terhadap total ekspor Negara tersebut (Sumber data UN 2008)
Dengan melihat fakta diatas ditambah dengan sering dikumandangkannya wacana tentang ekonomi kreatif maka kita bisa optimis bahwa perekonomian kita nantinya bisa ditopang oleh keanekaragaman (tingginya diversitas) budaya dan ekspresi budaya yang kita miliki.
Hal ini dapat dilakukan dengan pembuatan sebuah perpustakaan digital budaya Indonesia, sehingga pada akhirnya semua budaya Indonesia dapat dimasukkan kedalam database ini. Dengan adanya perpustakaan budaya Indonesia ini maka para penggiat ekonomi kreatif dapat memperoleh ide untuk menghasilkan karya ekspresi budaya yang baru dengan melihat perpustakaan digital budaya Indonesia sebagai referensi ide. Disisi lain dengan adanya jaringan komunikasi antara sesama penggiat ekonomi kreatif maka akan semakin mudah bagi mereka untuk membagi informasi tentang keperluan mereka dan ketersediaan bahan-bahan yang dibutuhkan. Selain diperlukannya perpustakaan digital kita juga harus membuat payung hukum agar kreativitas mereka tidak dibendung oleh ketakutan akan adanya klaim hak paten oleh oknum-oknum tertentu. Negara seharusnya menjadi tempat mereka bertumpu dalam hal mencari perlindungan.
Kesimpulan
Setelah mengkaji keadaan-keadaan ini kita bisa melihat bahwa kebudayaan Indonesia jika diproses dengan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kita bisa optimis bahwa kebudayaan kita bisa membawa kemaslahatan kepada masyarakat Indonesia. Melalui budaya kita bisa menemukan identitas bangsa Indonesia, meningkatkan perekonomian kita dan juga meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan kita. Dengan kebudayaan kita bisa memiliki rasa bangga atas Indonesia dan akhirnya kita bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain.
Daftar Pustaka :
– Solusi Untuk Indonesia, 2008
– Evolutionary Economics Celebrates Innovation and Creativity Based Economy, Situngkir H 2008
– Konstitusi Amerika
– The Selfish Gene, Richard Dawkins 1976
– Risalah Sidang PPKI
– Sejarah Indonesia Modern
Jika anda ingin tulisan ini dalam format pdf silahkan klik link ini
Komentar Terbaru